Kamis, 13 Maret 2014

Biografi tokoh Sosiologi

BIOGRAFI TOKOH SOSIOLOGI



AUGUSTE COMTE (1798 - 1857)
August Comte atau juga Auguste Comte (Nama lengkap : Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir di Montpellier, Prancis, 17 Januari 1798 - meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise.) adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial. Istilah “sosiologi” pertama kali digunakan pada tahun 1839 oleh Auguste Comte. Sebelumnya Comte menggunakan istilah “fisika sosial” yang sudah digunakan oleh Adolphe Quetelet, ahli matematika dari Belgia, untuk menunjuk studi statistika tentang gejala moral (1836), sehingga Comte nengubahnya menjadi “sosiologi” untuk menandakan ilmu pengetahuan masyarakat yang baru.
Riwayat Hidup Auguste Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Politeknik École saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier
Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon (Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon) yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek.
Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidup dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu masyarakat positifis.
Sejak tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari "agama kemanusiaan" (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive (1851 - 1854).
Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang tersusun secara berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.
Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Simon merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme) dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat.
Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisasi yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu,
Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).

Herbert Spencer (1820 - 1903)
Herbert Spencer (27 April 1820 – 8 Desember 1903) adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka. Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan menekankan pada "keuntungan akan kemurahan hati", dia lebih dikenal sebagai “bapak Darwinisme sosial”. Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang "hukum rimba" dalam ilmu sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai macam subyek, termasuk etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Spencer saat ini dikritik sebagai contoh sempurna untuk scientism atau paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum padanya di saat ia masih hidup.
Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Pada tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun di sana sini ada perubahan. Ia juga menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya Charles Darwin (yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera) terhadap masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme dalam artian positivistis dan deterministis, tidak dalam artian metaforis. Sebagai suatu organisme, mesyarakat berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Fungsi penyelaras dan pemersatu yang di dalam badan dilaksanakan oleh urat, di dalam badan sosial dilaksanakan oleh sistem pemerintahan.
Berdasarkan ciri-cirinya, Spencer mengelompokan masyarakat ke dalam dua tipe umum, yaitu masyarakat militeristis dan masyarakat indusri. Kedua tipe ini bersifat ideal. Dikatakan demikian karena didalam kenyataan tidak ada masyarakat yang melulu militeristis dan melulu industri. Spencer beranggapan, bahwa kegiatan pokok suatu masyarakat mempengaruhi bahkan menentukan corak semua pranatanya. Evolusi dari keadaan militristis ke arah industri terjadi di seluruh dunia.
Dalam masyarakat militeristis orang bersikap agresif. Mereka lebih suka merampas atau menjarah saja daripada bekerja kerasuntuk memenuhi kebutuhan mereka. Tipe masyarakat seperti ini dipimpin oleh orang yang kuat dan mahir berperang. Dengan tangan besi dan senjata, serta melalui takhayul, ia mempertahankan kekuasaannya. Kekuatan fisik dipandang sebagai nilai budaya yang tinggi, sehingga kaum wanita memiliki status yang rendah. Mereka dipaksa bekerja keras. Penguasa menggenggam kekuasaan yang absolut menimbulkan dan menebarkan ketakutan ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga mudah untuk dikendalikan. Ketakutan akan roh-roh membuat mereka menyembah pada leluhur. Kultus leluhur ini berevolusi menjadi politheisme, kemudian monotheisme. Jadi, dalam masyarakat militeristis, ketakutan pada orang mati mendasari kekuasaan politik. Kerjasama antar-anggota masyarakat terjadi karena paksaan dan ketakutan.
Masyarakat industri adalah masyarakat dimana kerja produktif dengan cara damai diutamakan daripada ekspedisi-ekspedisi perang. Kata “industri” yang digunakan Spencer tidak mengacu pada “teknologi” atau “rasionalisasi proses kerja”, melainkan dalam arti kerja sama spontan, bebas demi tujuan damai. Ciri-ciri masyarakat industri adalah demokrasi, adanya kontrak kerja yang menggantikan sistem perbudakan, kebebasan dalam memilih agama, dan adanya otonomi individu. Menurut Spencer, evolusi masyarakat industri berkaitan dengan perubahan sedikit demi sedikit sel-sel kelamin manusia. Ini disebut genetic determination (determinasi genetik). Tepatnya, faktor biologis yang menentukan, bukan faktor kemauan yang membudayakan manusia. Dengan denikian Spencer menolak apa yang disebut cultural determination (determinasi budaya).
Biografi Herbert Spencer
Spencer lahir di Derby, Inggris, 27 April 1820. ia tak belajar seni Humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai seorang insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang di pegangnya hingga tahun 1846. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik. Tahun 1848 spenser ditunjuk sebagai redaktur the economis dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, Social Statis. Selama menulis karya ini Spencer untuk pertama kalinya mengalami insomnia (tidak bisa tidur) dan dalam beberapa tahun berikutnya masalah mental dan fisiknya ini terus mengikat. Ia menderita gangguan syaraf sepanjang sisa hidupnya.
Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkan berhenti bekerja dan menjalani hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan Universitas atau memangku jabatan akademis. Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mental semakin parah, produktifitasnya sebagai seorang sarjana makin menurun. Akhirnya Spencer mencapai puncak kemasyuran tak hanya di inggris tetapi juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan “selama tiga dekade sesudah perang saudara, orang tak akan mungkin aktif berkarya di bidang intelektual apapun tanpa menguasai (pemikiran) Spencer” (1959;33) salah seorang pendukungnya adalah industrialis terkenal Andrew Carnegie. Selaku pengikut, Carnegie pernah menyurati spencer menjelang akhir hanyatnya tahun 1903. “Guru yang tercinta…anda menemuiku tiap hari dalam pikiranku dan terus – menerus muncul pertanyaan “mengapa” – mengapa dia harus berbohong?mengapa dia harus pergi?....dunia tidak menyadari keistimewaan pikirannya…namun suatu hari nanti dunia akan menyadari ajarannya dan akan menghormati Spencer sebagai manusia besar”. (carnegie, dikutip dalaam pee, 1971;2)
Namun nasib Spencer ternyata tidak seperti itu. Salah satu watak Spencer yang paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama dengan tokoh sosioligi awal Auguste Comte yang mengalami gangguan otak. Mengenal keengganannya membaca buku orang lain, Spencer berkata: “aku telah menjadi pemikir sepanjang hidup, bukan menjadi pembaca, aku sependapat apa yang di katakan Hobbea jika membaca sebanyak yang di baca orang lain, aku akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu” (Wilstshire’1978;67). Temannya pernah meminta pendapatnya tentang buku, dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” ( Wilstshire’1978;67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer dalam menyerap peengetahuan melalui kekuatan kulitnya ….ia rupanya tak pernah membaca buku” (Wilstshire’1978;67). Bila ia tak pernah membaca karya sarjana lain, lalu dari mana gagasan dan pemahaman Spencer berasal.
Menurut Spencer, ide – idennya muncul tanpa sengaja dan secara intuitif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja ataupun upaya keras” (Wilstshire’1978;66). Intuisi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih efektif ketimbang upaya berfikir dan belajar tekun ”pemecahan yang dicapai melalui cara yang dilukiskan itu memungkinkan lebih benar ketimbang yang dicapai dengan pemikiran” (Wilstshire’1978;66) Spencer menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain. Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu di lakukan hanya sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya. Demikianlah, Charles Darwin, pakar sezamannya. Berkata tentang Spencer “jika ia mau melatih dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan resiko kehilangan sebagian kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seseorang yang hebat” (Wiltshire, 1978;70). Pengabaiaan Spencer terhadap aturan ilmu pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan pernyataan yang belum di buktikan kebenarannya mengenai evolusi kehidupan manusia. Karena itulah sosiologi abad 20 menolak gagasan Spencer dan menggantinya dengan riset ilmiah dan riset empiris yang tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.

Émile Durkheim (1858 - 1917)
David Émile Durkheim (15 April 1858 - 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L'Année Sociologique pada 1896.
Biografi Émile Durkheim
Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya-banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar dibawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
Teori dan gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)
Tentang pendidikan
Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
1) Memperkuat solidaritas sosial
Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti.
Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2) Mempertahankan peranan sosial
Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.
3) Mempertahankan pembagian kerja.
Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.

Max Weber (1864 - 1920)
Maximilian Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 – meninggal di München, Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme?
Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya. Ia mendefinisikan "semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka -- tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. "Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme," demikian Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia."
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari "etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."
Biography of Max Weber ( 1864-1920 )
Max Weber lahir di Erfurt, jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setia aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan diri atau yang dapat menimbuklkan ancaman terhadap kedudukan dalam sistem. Lagipula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (ascetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat. Ia terganggu oleh ketidak sempurnaan yang dianggap pertanda bahwa ia tidak di takdirkan akan mendapat keselamatan diakhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebapkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak bersar pada Weber. Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tunanya yang bertolak belakang itu. Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Mariane Weber,1975;62) mula- mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihan, ketegangan yang dihasilkan kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan ini berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari runah, belajar di Universitas Heildelberg, Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk Universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemelu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagai karena terbiasa minum bir dengan teman – temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahiaan yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu, dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan ayahnya tetai juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.
Setelah kuliah tiga semester weber meninggalkan Heildelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke berlin, kerumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia metetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph,d, menjadi pengacara dan mulai mengejar di Universitas Berlin, dalam proses itu minat belajarnya bergeser ekonomi, sejarah, dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiaanya selama sisia hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekat nilai – nilai ibunya dan anti pati terhadap ayahnya meningkat (asceptic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut, ”dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur kehidupannya berdasarkan pembagiaan jam–jam kegiatan rutin sehari–hari kepada bagian–bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri di kamarnya dengan 1 pot dagung sapi dan 4 buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971;48;mariane, Weber,1975;105 ), jadi, dengan mengikuti ibunya, weber mengalami hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja tinggi – dalam istilah modern disebut workaholic (gila kerja). Semangat kerja tinggi ini mengantarkan Weber menjadi Profesor ekonomi di universitas Heildelberg pada 1896. Pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi pertengkarang sengit antar mereka. Tak lama kemudian Weber menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan saraf. Sering tidak bisa tidur atau bekerja, enam atau tujuh tahun berikutnya dilalui dalam keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagai kekuatan yang mulai pulih di tahun1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun, Weber mulai mampu aktif kembali dalam kehidupan akademis. Tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu terbaiknya, “the protestat Ethic and The Spirit of Capitalsm”. Dalam karya ini Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius.
Meski terus di anggap maslah oleh psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang sangat penting, ia menerbitkan hasil studi tentang agama dunia dalam perspekti sejarah dunia (misalnya, cina india dan agama yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 juni 1920)ia menulis karya yang sangat penting, “economy and Society”. Meski buku ini di terbitkan, dan telah di terjemahkan dalam beberapa bahasa, namun buku ini belum selesai. Selain menulis berjilid–jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan kegiatan lain, ia membantu mendirikan German Sociological Sosiety di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti George Simmel, Robert Michelis, dan saudara kandungnya, Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra George Lukacs (Scaff, 1989;186-222). Weber pun aktif dalam aktifitas politik dan menulis tentang masalah politik di masa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya, dalam pemikiran birokratis seperti yang tercermin oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber mauun kehidupan pribadinya.
Ia menyelesaikan pendidikannya dibidang hukum, ekonomi, sejarah, filsafat dan teologi. Ia termasuk yang ikut menyebarkan ilmu sosiologi yang dianggap masih muda diwaktu itu. Max Weber, walaupun menguasai bidang politik namun ia tidak terlibat dalam aksi politik. Ia mengarang buku Le Savant et le politique (ilmuan dan politik). Weber menyatakan bahwa rasionalisasi kehidupan sosial menjadi ciri yang paling signifikan pada masyarakat modern. Menurutnya rasionalisasi menyangkut tiga tipe besar aktifitas manusia yaitu :
1. Tindakan tradisional yang berkaitan dengan adat-iastiadat. Aktivitas sehari-hari seperti makan menggunakan garpu atau cara member salam kepada teman termasuk pada tindakan tradisional.
2. Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu.
3. Tindakan rasional yang merupakan alat (instrument), ditujukan kearah nilai yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara.
Menurutnya tindakan rasional menjadi ciri masyarakat modern yaitu dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuan, konsumen atau pegawai yang bertindak sesuai dengan logika tersebut. Aktivititas manusia merupakan kombinasi dari berbagai tindakan. Jarang sekali aktivitas sosial yang berorientasi pada salah satu jenis tindakan saja. Jenis-jenis aktivitas itu hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan risert sosiologi. Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih sering berkombinasi.
Dalam econimie et societe, ia membedakan tiga tipe dominasi :
1. Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena ciri sakralitas yang melekat kepadanya.contohnya kekuasaan para tuan tanah.
2. Dominasi kharismatik adalah dominasi suatu perorangan/personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus. Pemimpin kharismatik membesarkan kekuatan untuk menyakinkan dan kapasitasnya untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan pada pemimpin semacam ini terkait dengan factor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan dan dikuasainya.
3. Dominasi “legal-rasional “ yang bertumpu pada hukum formal dan impersonal. Dominasi ini terkait dengan fungsi, dan bukan pada person. Kekuasaan dalam organisasi modern dijustifikasi lewat kompetensi, rasionalitas dan bukan pada kekuatan sihir. Kepatuhan pada tipe ini didasarkan pada sebuah kitab hukum. (Philippe Cabin, 2008 ).
Sumbangan Max Weber
Weber menulis buku berjudul “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904 - 1905). Menurut Weber, faktor – faktor non-ekonomis, dan ide – idemerupakan faktor sosiologis yang penting. Begitu pula status sosial dan posisi individual dalam struktur kekuasaan menentukan strata masyarakat.
Menurut Weber, “politik” adalah sarana perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik, atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara negara – negara, maupun di antara kelompok – kelompok di dalam suatu negara. Sedangkan negara didefinisikan sebagai komunitas atau masyarakat yang berhasil memonopoli penggunaan kekuatan-kekuatan fisik yang sah di dalam satu teritorial tertentu.
Dengan demikian Weber sangat memperhatikan pelaksanaan kekuasaan dan legitimasinya. Menurut Weber ada tiga tipe legitimasi kekuasaan, yaitu legitimasi tradisional, legitimasi karismatik, dan legitimasi legal-rasional.
1. Legitimasi Tradisional. Kekuasaan atau otoritas didasarkan pada tradisi. Seorang Raja memerintah karena menurut tradisi keluarganya yang memerintah, karena dia dipilih oleh dewa-dewa, karena dewan suku memilih dia melalui metode-metode serimonial tradisional.
2. Legitimasi Karismati. Kekuasaan atau otoritas didasarkan pada karisma pribadi seseorang. Seseorang dipilih menjadi pemimpin karena memiliki kepribadian, personality yang dominan.
3. Legitimasi Legal-Rasional. Kekuasaan atau otoritas didasarkan pada prinsip-prinsip legal-rasional. Seseorang dipilih menjadi presiden, misalnya, sesuai dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Ketentuan birokratis, misalnya, memberikan otoritas kepada polisi dan petugas paspor.
Masing-masing bentuk legitimasi ini berkaitan dengan bentuk organisasi tertentu. Pemimpin tradisional terdapat terutama dalam organisasi-organisasi patrimonial dan patriarkal. Pemimpin karismatik biasanya memiliki pengikut serta pendukung. Dan pejabat-pejabat legal-rasional terdapat di berbagai lingkungan birokrasi.
Sumbangan metodologis Weber yang diterapkan pada sosiologi adalah cara pemahaman yang disebut Verstehen (istilah Jerman, artinya pemahaman atau wawasan). Sebagai subjek, para sosiolog dapat memperoleh suatu “pemahaman interpretatif” tentang makna perilaku tertentu. Melalui observasi yang hati-hati, mereka akan menguji pemahaman ini. Menurut Weber, tingkah laku manusia akan lebih mudah dipahami bila motif-motif dan maksud-maksud mereka pun diperhitungkan. Maka ia pun menekankan pentingnya sumbangan kekuatan ide sebagai faktor sosial.
Menurut Weber, sosiolagi harus bebas nilai (value-free), tidak berpihak kepada kepentingan atau keyakinan moral pribadi. Para sosiolog harus mencegah bias personal dalam melakukan riset ilmiah. Ini untuk menjamin obyektivitas kebenaran sosiologi.

Charles Horton Cooley (1864 - 1929)
C. H Cooley (lahir 17 Agustus 1864 – meninggal 8 Mei 1929 pada umur 64 tahun) lahir di Michigan, Amerika Serikat, dia adalah anak seorang ahli hukum terkenal yaitu Thomas M. Cooley. Pada mulanya dia belajar teknik mesin elektro, kemudian dia juga belajar ekonomi. Setelah lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di departemen komisi pengawas, kemudian juga di kantor sensus. Pada tahun 1892 dia menjadi dosen ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di universitas Michigan. Pemikiran Cooley banyak dipengaruhi oleh George Herbert Mead dan Sigmund Frued. Cooley tergolong dalam sosiolog interaksionisme simbolik klasik.
Cooley mempelajari tentang aspek psikologi sosial dari kehidupan sosial. Cooley menekuni tentang kesadaran. Yang terkenal adalah konsep cermin diri (the looking glass self), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kesadaran itu terbentuk dalam interaksi sosial yang berlanjut. Selain itu adalah konsep kelompok primer, yakni kelompok yang hubungan antara anggotanya sangat akrab dan bertatap muka dalam arti saling mengenal kepribadian masing-masing. Baik Cooley maupun Mead menolak pandangan behavioristik tentang manusia, pandangan yang menyatakan manusia (individu) memberikan respon secara membabi buta dan tanpa kesadaran terhadap rangsangan dari luar. Ia menganjurkan sosiolog mencoba menempatkan diri di tempat aktor yang diteliti dengan menggunakan metode introspeksi simpatetik untuk menganalisis kesadaran itu. Sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada fenomena psikologi sosial seperti kesadaran, tindakan, dan interaksi.
Menurut Charles H. Cooley; “Kerja sama timbul apabila orang menyadasri bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang pentingan dalam kersama yang berguna”.
Charles Horton Cooley adalah seorang sosiolog yang berasal dari Amerika Serikat. Cooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh oleh aliran romantik yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun dan damai sebagaimana dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja.
Prihatin melihat masyarakat-masyarakat modern yang telah goyah norma-normanya, sehingga masyarakat bersahaja merupakan bentuk ideal yang terlalu
berlebih-lebihan kesempurnaannya.
Hasil-hasil karyanya, antara lain:
1. Social Process
2. Social Organization
3. Human nature and social order

Pierre Guillaurne Frederic Le Play (1806-1882)
Mengenalkan metode tertentu di dalam meneliti dan menganisis gejala-gejala sosial yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap fakta-fakta sosial dan analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan metode case study dalam penelitian-penelitian sosial.
Hasil penelitiannya, bahwa lingkungan geografis menentukan jenis pekerjaan, dan hal ini mempengaruhi organisasi ekonomi, keluarga serta lembaga-lembaga lainnya.
Le Play menganalisis keluarga sebagai unit sosial yang fundamental dari masyarakat. Organisasi keluarga di tentukan oleh cara-cara mempertahankan kehidupannya yaitu cara mereka bermata pencaharian. Hal ini sangat tergantung pada lingkungan timbal balik antara faktor-faktor tempat, pekerjaan dan manusia (atau masyarakat). Atas dasar faktor-faktor tersebut, maka dapatlah diketemukan unsur-unsur yang menjadi dasar adanya kelompok-kelompok yang lebih besar, yang memerlukan analisis terhadap semua lembaga-lembaga politik dan sosial suatu masyarakat.

Ferdinad Tonnies (1855-1936)
Biografi Ferdinand Tonnies
Ferdinand Tonnies lahir pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dan ia jugalah yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiological Association ( 1909, bersama dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya )
Ferdinand Tonnies memiliki berbagai karya diantaranya Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).
Diakhir usianya Tonnies adalah seorang yang aktif menentang gerakan NAZI di Jerman dan seringkali ia diundang menjadi Professor tamu di University of Kiel, setelah hampir masa hidupnya ia gunakan untuk melakukan penelitian, menulis, dan mengedit karya para sosiolog dimasanya.
Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Setelah sebelumnya Weber menegaskan bahwa ia melihat bahwa perubahan masyarakat terlihat pada kecenderungan menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala bidang (pertimbangan instrumental, penekanan efisiensi, menjauhkan diri dari emosi dan tradisi, impersonalitas, manajemen birokrasi dan sebaliknya). Senada dengan hal itu, Durkheim menegaskan bahwa perkembangan pembagian kerja pun akan didikuti integrasi masyarakat melalui “solidaritas organik” yang menimbulkan ikatan yang saling menguntungkan dan kontribusi anggota masyarakat akan saling melengkapi.
Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat.
Sedangkan Gesellschaft, sebagai sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.
Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan dan pertolongan.
Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di DI. Yogyakarta, Solo, dan sebagainya.
2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW.
3. Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama.
Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Ferdinand Tonnies dan Evolusi tanpa Kemajuan
Apabila Durkheim menjelaskan tipologi perubahan masyarakat dengan membuat perbandingan “solidaritas mekanik” dan “solidaritas organik”, Spencer membuat tipe “masyarakat militer” vs “masyarakat industri”, Weber yang membagi “masyarakat agraris tradisional” dengan “masyarakat kapitalis”. Maka dibawah ini adalah tabel dikotomi serupa yang disajikan oleh Tonnies dalam Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887). Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer).
Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat modern (Gesellschaft). Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi (Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia.

Leopold von Wiese ( 1876-1949 )
Ia seorang sosiololog dari Jerman. Ia beranggapan bahwa sosilogi adalah ilmu pengetahuan empiris yang berdiri sendiri.. Menurutnya “sosiologi” adalah penelitian terhadap hubungan antar manusia yang merupakan kenyataan sosial. Obyek sosiologi adalah interaksi sosial atau proses sosial. Ia meneliti tentang klasifikasi proses-proses sosial, yang menekankan pada proses sosial asosiatif dan disosiatif. Setiap katgori proses-proses sosial dibagi-bagi lagi menjadi proses yang lebih kecil.
Menurutnya Sosiologi harus memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan manusia tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan atau kaidah-kaidah. Sosiologi harus mulai dengan pengamatan terhadap perilaku kongkrit tertentu. Ajarannya bersifat empiris dan dia berusaha untuk mengadakan kuantifikasi, terhadap proses-proses sosial yang terjadi. Proses sosial merupakan hasil perkalian dari sikap dan keadaan, yang masing-masing dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya secara sistematis.
Ia juga meneniliti tentang struktur sosial. Menurutnya struktur sosial merupakan saluran dalam hubungan antar manusia. Hasil karyanya antara laihn:
The basic of sociology: a critical examination of Herbert spencer’s synthetic philosophy ( 1906 ) General sociologi, jilid.I Social relations ( 1924 ) dan jilid II tahun 1929

Alfred Vierkandt ( 1867-1953 )
Pada mulanya ia berpendapat bahwa kajian sosiologi adalah membahas tentang sejarah kebudayaan. Kemudia ia berpandangan lain bahwa kajian sosiologi adalah interaksi sosial dan hasil dari interaksi tersebut. Menurutnya masyarakat adalah himpunan-himpunan interaksi sosial, sehingga sosiologi bertugas untuk mengkontruksikan teori-teori tentang masyarakat dan kebudayaan. Setiap masyarakat merupakan kebulatan dimana masing-masing unsur saling mempengaruhi. Menurutnya dasar struktur sosial adalah ikatan emosional, tak ada konflik antara kesadaran individu dengan kelompoknya. Hubungan antar individu merupakan mata rantai, hubungan tersebut akan timbul dan akan hilang, akan tetapi strutur dan tujuan kelompok sosial akan tetap bertahan. Sosiologi juga mempelajari bentuk-bentuk struktur sosial tersebut.
Hasil karyanya, Primitive and civilized people (1896), Inertia in culture change (1908 ), Theory of society; Main problem of philosophical sociologi ( 1922 )
Sosiologi menyoroti situasi-situasi mental. Situasi-situasi tersebut tak dapat dianalisis secara tersendiri, akan tetapi merupakan hasil perilaku yang timbul sebagai akibat interaksi antar individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, tugas sosiologi adalah untuk menganalisis dan mengadakan sistematika terhadap gejala sosial dengan jalan menguraikannya ke dalam bentuk-bentuk kehidupan mental. Hal itu dapat ditemukan dalam gejala-gejala seperti harga diri, perjuangan, simpati, imitasi dan lain sebagainya. Itulah prekondisi suatu masyarakat yang hanya dapat berkembang penuh dalam kehidupan kelompok atau dalam masyarakat setempat (community). Oleh karena itu sosiologi harus memusatkan perhatian terhadap kelompok-kelompok sosial.

Lester Frank Ward (1841-1913)
Sosiologi bertujuan untuk meneliti kemajuan-kemajuan manusia. Ia membedakan antara pure sociology (sosiologi murni) yang meneliti asal dan perkembangan gejala-gejala sosial, dan apllied sociology (sosiologi terapan) yang khusus mempelajari perubahan-perubahan dalam masyarakat karena usaha-usaha manusia.
Kekuatan dinamis dalam gejala sosial adalah perasaan.
Ward menerima gagasan bahwa manusia berkembang dari bentuk yang lebih rendah ke statusnya yang seperti sekarang. Ia yakin bahwa masyarakat kuno ditandai oleh kesederhanaan dan kemiskinan moral, sedangkan masyarakat modern lebih kompleks, lebih bahagia dan mendapatkan kebebasan lebih besar. Menurutnya, sosiologi tidak hanya bertugas meneliti kehidupan sosial saja, tetapi harus pula menjadi lmu terapan. Sosiologi terapan ini meliputi kesadaran yang menggunakan pengetahuan ilmiah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Vilfredo Pareto (1848 - 1923)
Sosiologi didasarkan pada observasi terhadap tindakan-tindakan, eksperimen terhadap fakta-fakta dan rumus-rumus matematis. Masyarakat merupakan sistem kekuatan yang seimbang dan keseimbangan tersebut tergantung pada ciri-ciri tingkah laku dan tindakan-tindakan manusia dan tindakan-tindakan manusia tergantung dari keinginan-keinginan serta dorongan-dorongan dalam dirinya.
Pareto terkenal dengan kriteri efisiensi ekonominya juga diakui sebagai pendiri sosiologi abab ke-20 (bersama-saa Durkheim dan Weber). Penekanan Pareto pada akar-akar hukum didalam sumber-sumber yang menentang analisis rasional ortodoks dan cara dibangunnya pembenaran logis diatas pondasi non-logos masih bermanfaat.
Pareto dalam bukunya “The Mind and Society” mencoba menyangkal Marxisme dengan jalan mengakui eksistensi dari klas penguasa (the ruling clas) atau kelompok elite, dengan menyatakan pendapatnya bahwa kaum elite tidak perlu mendapatkan posisinya berkat supremasi ekonomisnya, dan bahwa perubahan sosial dan perubahan politik akan terjadi oleh adanya sirkulasi dari kaum elitenya yang tidak perlu didukung oleh faktor-faktor ekonomi.

George Simmel ( 1858-1918 )
Lahir di Berlin 1858. Ia menylesaikan studinya dibidang filsafat. Ia memberikan kontribusi yang cukup besar pada konsep tindakan timbal balik dan ikatan sosial. Naskahnya tahun 1909 yang berjudul “Brucke und tur (jembatan dan pintu)”, baginya kehidupan sosial merupakan gerakan yang tidak henti-hentinya membangun kembali model hubungan antar individu. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang akan memberikan pengaruh pada sesamanya. Tindakan ini dituntun oleh keseluruhan motivasi yang beragam dan tanpa pernah berhenti bergerak itulah totalitas seluruh tindakannya yang member kontribusi untuk mempersatukan totalitas individu menjadi masyarakat global.
Menurutnya produk dari tindakan timbal balik itu sebagai”bentuk sosial” (forms sociale) yang terdiri dari :
1. Bentuk yang bersifat permanen (keluarga, Negara, gereja, perusahaan, partai politik dsb) ini yang disebebut lembaga atau institusi.
2. Bentuk-bentuk yang merupakan skema prabangun dan dengan skema inilah berbagai organisasi dibentuk (hirarkhi, persaingan, konflik, pengalaman, pembagian kerja dll) ini merupakan bentuk-bentuk yang tengah terbentuk.
3. Bentuk-bentuk yang membentuk batas umum terjadinya sosialisasi (politik, ekonomi, hokum, pendidikan dll) ini disebut konformasi.
4. Bentuk-bentuk yang berlansung singkat berupa ritus-ritus harian (kebiasaan , makan, berjalan bersama, sentuhan , sopan santun dll) ( Anthony Gidden, 2008 )
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, yaitu satu-satunya ilmu pengetahuan analitis yang abstrak di antara semua ilmu pengetahuan
kemasyarakatan. Objek sosiologi adalah bentuk-bentuk hubungan antar manusia.
Elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk yang mengatur hubungan antara elemen-elemen tersebut. Pelbagai lembaga di dalam masyarakat terwujud dalam bentuk superioritas, subordinasi dan konflik. Semua hubungan-hubungan sosial, keluarga, agama, peperangan, perdagangan, kelas-kelas dapat diberi karakteristik menurut salah satu bentuk diatas atau ketiga-ketiganya. Menurutnya, seseorang menjadi warga masyarakat untuk mengalami proses individualisasi dan sosialisasi. Tanpa menjadi warga masyarakat tak akan mungkin seseorang mengalami proses interaksi antara individu dengan kelompok.
Dengan kata lain, apa yang memungkinkan masyarakat berproses adalah bahwa setiap orang mempunyai peranan yang harus dijalankannya. Maka, interaksi individu dengan kelompok hanya dapat dimengerti dalam kerangka peranan yang dilakukan oleh individu.

WILLIAM GRAHAM SUMNER (1840-1910)
Sistem sosiologi Sumner (seorang Amerika) didasarkan pada konsep in-group dan out-group. Masyarakat merupakan peleburan dari kelompok-kelompok sosial. Kebiasaan dan tata kelakuan merupakan petunjuk-petunjuk bagaimana harus memperlakukan warga-warga sekelompok maupun warga-warga dari kelompok lainnya. Apabila suatu kebiasaan dianggap demikian pentingnya bagi kesejahteraan kelompok sosial, maka kebiasan tersebut menjadi tata kelakuan atau moral kelompok yang mempunyai sanksi-sanksi yang tegas. Menurut Sumner ada empat dorongan yang universal dalam diri manusia yaitu rasa lapar, rasa cinta, rasa takut dan rasa hampa. Dari dorongan teersebut timbullah kepentingan-kepentingan yang menyebabkan terjadinya pola-pola kegiatan kebudayaan. Karena itu, keempat dorongan tersebut merupakan kekuatan-kekuatan sosial yang terpokok.
Hasil karyanya adalah: Collected Essays on Political and Science (1885), What social classes owe to folkways (1907), Selected essays of William Graham Sumner (1924), The science of sociology (dengan A.C. Keller, 1927), Essays of William Graham Sumner (2 jilid, 1934).
Salah satu karyanya Folkways. Folkways dimaksudkan dengan kebiasaan-kebiasaan sosial yang timbul secara tidak sadar dalam masyarakat, kebiasaan-kebiasaan mana menjadi bagian dari tradisi. Hampir semua aturan-aturan kehidupan sosial, upacara sopan-santun, kesusilaan, dan sebagainya, termasuk dalam Folkways tersebut. Aturan-aturan tersebut merupakan kaidah-kaidah kelompok yang masing-masing mempunyai tingkat atau derajat kekuatan yang berbeda-beda. Apabila kaidah-kaidah tadi dianggap sedemikian pentingnya, maka kaidah-kaidah tadi dinamakan tata kelakuan (mores). Kaidah-kaidah tersebut tidaklah menjadi bagian dari suatu masyarakat secara menyeluruh, dan oleh karena itu sumner membedakan antara kelompok sendiri (in-gropus) dengan kelompok luar (out-groups). Pembedaan ini ditujukan untuk dapat memberikan petunjuk bahwa ada orang-orang yang
diterima dalam suatu kelompok dan ada pula yang tidak. Pembedaan tersebut menimbulkan pelbagai macam antagonisme, pertentangan serta pertikaian.

ROBERT EZRA PARK (1864-1944)
Park dianggap sebagai pelopor dari salah satu mahzab dalam ilmu sosiologi yaitu mahzab ekologi yang diakui sebagai cabang ilmu sosiologi pada 1925 oleh suatu pertemuan American sociological society. Pokok ajarannya adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa sosiologi meneliti masyarakat setempat dari sudut hubungan antar manusia. Park memimpin sejumlah besar penyeledikan mengenai pelbagai peristiwa dalam pergaulan hidup kota dan mengenai sifat-sifat suatu bangsa. Namanya terkenal karena telah mengarang sebuah buku pengantar sosiologi (bersama Burgess) yang berjudul: introduction to the science of sociology pada 1921. dalam buku ini, Park membahas semua persoalan ilmu sosiologi, yang sebagian diambil dari kupasan-kupasan hasil karya sarjana sosiologi terkemuka. Bukunya berpengaruh besar pada perkembangan lanjut ilmu sosiologi terutama di Amerika Serikat.
Hasil karyanya adalah: Race and culture (diterbitkan pada 1950, setelah dia meninggal dunia), dan sebelumnya dia telah menulis sebuah buku bersama dengan H.A. Miller (pada 1921) yang berjudul: Old World Traits Transplanted.

KARL MANNHEIM (1893-1947)
Karl Mannheim mula-mula adalah seorang guru besar Universitas Frankurt-am-Main di Jerman. Kemudian pindah dan menetap di Inggris, dimana dia menjadi guru besar Universitas London. Mannheim telah banyak menyumbangkan buah pikirannya bagi perkembangan sosiologi. Antara lain dipeloporinya suatu cabang sosiologi, yang dinamakannya sosiologi pengetahuan, yang khusus menelaah hubungan antara masyarakat dengan pengetahuan. Kemudian, teorinya yang sangat terkenal adalah mengenai krisis. Akar dari segenap pertentangan yang menimbulkan krisis terletak dalam ketegangan-ketegangan yang timbul di semua lapangan kehidupan, karena asas laissez faire berdampingan dengan asas-asas yang baru dalam kehidupan ekonomi. Ini berlaku pula bagi lapangan-lapangan kehidupan lainnya. Perimbangan-perimbangan dalam masyarakat menurut asas yang baru, dan dalam hal ini manusialah yang harus memberi bentuk kepada perimbangan-perimbangan baru tadi. Akan tetapi dalam hal ini manusia gagal melakukannya. Inilah yang meyebabkan krisis. Menurut Mannheim yang sangat perlu adalah diadakannya suatu planning for freedom, yaitu semacam peencanaan yang diawasi secara demokratis dan menjamin kemerdekaan aktivitas-aktivitas individu perimbangan tersebut diatas. Dalam rangka planning for freedom tersebut, Mannheim merintis pembentukan The International Library of Sociology and Social Reconstruction yang bertujuan untuk menelaah (secara ilmiah) persoalan-persoalan ekonomi dan perencanaan sosial yang merupakan persoalan penting dewasa ini.
Hasil karyanya adalah: Ideology and utopia (1929), Man and society in an age of reconstruction (1940), Diagnosis of our time (1943).
Konsep Sosiologi Politik Mannheim
Di dalam Ideologie und Utopie Mannheim membahas mengenai betapa rumitnya gagasan-gagasan dan pemikiran politik dengan berbagai interpretasinya dilihat dari kacamata sosiologis. Sedangkan didalam Man and Society in an Age of Reconstruction, ia mengemukakan suatu rancangan untuk melakukan reorganisasi tatanan sosial demi mengatasi krisis yang melanda kehidupan masyarakat. Baginya, pengawasan dan pengendalian ‘totalitarian’ yang terkontrol bukanlah merupakan antitesis atau pengingkaran atas kebebasan dalam kaitannya dengan modernisme, sehingga melalui perencanaan itulah masyarakat memiliki kemungkinan untuk dapat menentukan pilihannya secara bebas tanpa ada sorangpun yang akan ‘mengatur’ dan memaksanya. Dengan demikian, ’social control’ yang merupakan alat ‘dehumanisasi’, bagi Mannheim justru membuat hidup ini semakin ‘alami’ (natural) dan bukan merupakan proses eliminasi atas kualitas sifat-sifat manusia. Sebagai sebuah teori politik, konsep Mannheim sebenarnya memiliki kelemahan-kelemahan, karena ia gagal untuk mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara langsung berkaitan dengan kekuatan dan kekerasan sebagai sebuah aspek dari suatu pengawasan dan pengendalian sosial. Teori politik Mannheim tidak dapat menunjukkan keterkaitannya dengan fakta-fakta politik (yang paling jelas sekalipun). Ia juga tidak dapat menunjukkan keterkaitan dengan sejarah politik yang bergerak menuju masa-masa yang mempengaruhi (konsep) negara modern menuju liberalisme. Selain itu, teori politiknya juga tidak dapat menunjukkan konsep pemerintahan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ide-ide atau fakta-fakta yang berguna mengenai bentuk-bentuk maupun proses pemerintahan sehingga semua proses dan konsep itu menjadi terhenti. Mannheim memang memberikan penegasan mengenai alasan kebijakan politik yang memunculkan berbagai pertanyaan mengenai otoritas, legitimasi, hukum, kewarganegaraan, isu mengenai undang-undang, masalah yang berkaitan dengan ideologi dan sosiologi, serta masalah yang menyangkut sosiologi politik, elit politik, dan para penyelenggara negara. Selain itu, ia juga membicarakan mengenai teknik-teknik pengawasan masyarakat, mengenai perintah, dan upaya dalam melakukan tekanan serta kekerasan terhadap masyarakat oleh pihak penguasa, serta masalah-masalah integrasi dan koordinasi. Hal-hal itulah yang telah ‘mengukuhkan’ Mannheim sebagai seorang ahli teori sosiologi politik

Rabu, 12 September 2012

Pancasila telah Dilupakan oleh Masyarakat Indonesia

       Tanggal 17 Agustus 2012, Bangsa Indonesia merayakan HUT kemerdekaannya yang ke 67 tahun. HUT kemerdekaan Indonesia tahun ini sangat spesial karena kondisinya sama persis yang kita alami pada saat pertama kali kemerdekaan negara Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta. Ketika itu proklamasi kemerdekaan Indonesia diselenggarakan pada bulan ramadhan, dan tahun ini HUT kemerdekaan Indonesia juga jatuh pada bulan ramadhan. Kalau kita lihat dari usia negara ini yang sudah mencapai 67 tahun, pasti kita beranggapan kondisi negara ini sudah lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Negaranya sudah aman, tertib, masyarakatnya hidup rukun di dalam kemajemukan yang ada, rakyatnya sejahtera karena pembangunan dilakukan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi anggapan itu akan terbantahkan apabila kita melihat kondisi negara Indonesia sekarang ini. Negara Indonesia bukannya tambah aman dan tertib, tetapi semakin bergejolak dan tidak stabil. lihat saja kerusuhan dan pertikaian antar kelompok, antar suku bahkan antar agama yang marak terjadi akhir-akhir ini. sebagai  contoh kerusuhan antar suku yang terjadi di Sampit, Sambas, Poso, kerusuhan antar agama yang terjadi di Ambon, kerusuhan antar kelompok organisasi masyarakat (ORMAS) yang hampir menghiasi hari-hari di Indonesia dan masih banyak lagi yang lain. Masyarakat Indonesia tidak dapat lagi hidup tenang karena mereka khawatir sewaktu-waktu kerusuhan dan pertikaian itu akan merembes ke wilayah mereka. Belum lagi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pemerintah untuk menuntut agar wilayahnya dimerdekakan dari wilayah Indonesia seperti yang sekarang dilakukan oleh masyarakat Papua. Korupsi merajalela, kebebasan beragama tidak lagi terjamin seperti kasus yang menimpa umat kristen di berbagai wilayah Indonesia dimana gereja tempat mereka beribadah disegel oleh muspida setempat. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Bangsa ini? Mengapa hal ini dapat terjadi?

       Kondisi demikian dapat terjadi karena Pancasila sudah dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari setiap tindakan yang dilakukan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai Pancasila, padahal seharusnya setiap tindakan yang hendak dilakukan bangsa ini  harus berpedoman kepada Pancasila karena di dalam sila Pancasila terdapat nilai-nilai luhur (baca 45 butir Pancasila). Sebagai contoh, sekarang ini masyarakat Indonesia tidak lagi mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Setiap persoalan yang muncul selalu diselesaikan dengan cara kekerasan sehingga berujung kepada pertikaian dan kerusuhan. Padahal Pancasila khususnya sila keempat mengajarkan kepada kita agar setiap persoalan harus diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat, sehingga tidak jarang kita jumpai sekarang ini di Indonesia banyak terjadi  kerusuhan antar kelompok masyarakat hanya gara-gara masalah sepele seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sampang, Madura (Jawa Timur).

        Selain contoh di atas, masih ada lagi contoh kasus yang menggambarkan perilaku masyarakat Indonesia yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila menyangkut kebebasan menjalankan ibadah. Kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kasus penyegelan beberapa gereja di wilayah Indonesia. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama, karena kebebasan menjalankan ibadah dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Masih banyak contoh kasus lain yang menggambarkan bahwa Pancasila sudah dilupakan oleh masyarakat Indonesia.